FB : Ade Suyitno Adeno. TWTR : @ade_suyitno.
Next >> Contoh Artikel Nasional Pemenang Lomba Blog
Next> > Contoh Paper Internasional Conference
Next>> Contoh Karya Ilmiah Pemenang Nasional
Next>> Contoh Artikel Ilmiah Internasional
Next>> Contoh Esai /Essay Ilmiah Pemenang Limas UI
JIKA AKU MENJADI MENTERI PENDIDIKAN
oleh: GIGAY CITTA ACIKGENC – UNIVERSITAS INDONESIA
Program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti dua tahun silam meninggalkan jejak abadi di bilik memori. Hari – hari di sekolah yang saya jalani selama satu tahun ajaran membuka pintu kesempatan untuk saya merasakan perbedaan sistem pendidikan di Italia dan di Indonesia. Pengalaman sekali seumur hidup ini sukses membuat saya mencetuskan sebuah cita – cita baru: Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Dan setelah saya pulang ke tanah air, imajinasi posisi panglima tertinggi di sektor pendidikan formal tersebut semakin tumbuh di benak saya.
Sekolah yang Menyenangkan
Tatkala saya menjadi murid di sebuah SMA negeri di kota Roma, ada percik antusiasme yang membuncah sebelum saya berangkat ke sekolah. Terpaan angin dingin bumi eropa setiap pagi ketika sedang menunggu bus tidak menyurutkan semangat saya untuk hadir di ruang kelas. Kemampuan bahasa Italia saya yang belum seberapa juga tidak menciutkan nyali saya untuk mengikuti ujian lisan maupun tulis yang sebenarnya tidak wajib mengingat sekembalinya saya ke Indonesia saya tetap akan mengulang kelas tiga SMA. Akan tetapi, mata pelajaran yang menarik serta sistem evaluasi yang bebas dari model pilihan ganda mengaburkan kendala bahasa dan cuaca yang menghadang saya.
Sesuai dengan usia saya yang saat itu berumur 17 tahun, saya ditempatkan di kelas IV Liceo Scientifico Stanislao Cannizzaro. Kelas IV disana setara dengan kelas 2 SMA di negara kita. Dan seperti yang tertulis di nama sekolah saya, saya masuk di sekolah Ilmu Alam. Yang unik, selain belajar Matematika, Fisika, dan Kimia, alokasi jam Sastra Italia, Sastra Latin, Sastra Inggris, Filsafat, Sejarah, dan Sejarah Seni tidak dianak-tirikan. Tak hanya kemampuan berhitung yang diasah, namun kami dilatih pula untuk mengenal keping – keping masa lalu yang acap kali di Indonesia tidak diselami lebih dalam kecuali jika Anda mahasiswa Ilmu Sejarah.
Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran pengetahuan yang terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi kepala saya. Saya memaknai kutipan populer Carpe Diem di jam Literatur Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace – yang artinya adalah Seize the Day – mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya mengapresiasi fungsi moral dongeng Pinocchio dan Cinderella serta menganalisis faktor internal novel abad 17 karya Robinson Crusoe di jam Literatur Inggris. Saya juga membedah lukisan School of Athens karya Michelangelo dan mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf asal Britania Raya, John Locke.
Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas ‘Halo! Nama saya Gea. Saya datang dari Indonesia’. Tiga bulan awal saya benar – benar merasa seperti alien. Ketika berada di kelas, menahan kantuk adalah kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap materi pelajaran atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak manusia dalam beradaptasi dengan bahasa baru. Di bulan Desember 2011, saya mulai bisa berkomunikasi dua arah dan memberanikan diri untuk mengikuti ujian Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya Dante.
Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu ujian dengan soal pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas folio kosong. Saya tidak pernah menyilang jawaban, saya merangkai jawaban. Apa yang saya dan teman – teman pahami adalah yang akan kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian saya berdasarkan perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini pula yang membuat saya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang, bukan paksaan atau pun sebuah keharusan.
Letup Semangat yang Lenyap
Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang kelas 3. Jam sekolah yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam bentuk Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan meredupkan percik api semangat yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan waktu luang dan kebebasan melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya hanya berada di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk lulus SMA, murid – murid disana diperbolehkan menulis apa saja dalam bentuk karya ilmiah yang nantinya akan dipresentasikan. Host-brother saya kala itu menulis tentang badut dan kaitannya dengan karya pelukis Picasso. Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di dalam ruangan (sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman saya menulis sebuah esai dengan tema you are what you eat (Kamu adalah apa yang kamu makan).
Bukan berlebihan jika saya mengatakan masyarakat kita hari ini adalah produk kurikulum nasional. Pendidikan adalah salah satu faktor pembentuk karakter umum suatu masyarakat. Meskipun ada perubahan, kurikulum dulu dan kini sebetulnya memiliki napas yang sama: materi pelajaran yang membeludak, jam sekolah yang tinggi, sistem evaluasi model pilihan ganda, dan ujian yang terstandardisasi (standarised-test).
Kalau hari ini masih banyak orang yang tidak malu melakukan tindak pidana korupsi, bisa jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai yang namanya diubah menjadi Ujian Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih – benih generasi koruptif. Pelaksanaan Ujian Nasional yang rentan kecurangan adalah rahasia umum. Banyak murid yang saking takutnya atau saking malasnya akhirnya membeli soal dari pihak yang tak bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk memenuhi nilai minimum kelulusan, tidak semuanya mampu menomorsatukan kejujuran. Soal pilihan ganda yang diujikan memudahkan para murid untuk menghalalkan praktik sontek – menyontek. Model evaluasi yang melihat nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa memproduksi peserta didik yang belajar dengan berorientasi pada nilai (score-oriented), bukan berorientasi pada spirit pembelajar sejati (learning-oriented) yang seharusnya menjadi landasan setiap orang yang pernah mengecap pendidikan formal.
Karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar – mengajar di kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari di sekolah adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dan yang dikejar oleh para tenaga pengajar, kepala sekolah, dan Menteri Pendidikan adalah kenaikan angka statistik kelulusan.
Introspeksi Diri
Parameter keberhasilan pendidikan nasional yang diukur oleh nilai batas minimum yang mampu dilewati siswa adalah potret kesuksesan yang semu. Buktinya semakin banyak orang yang bisa sekolah, berita tawuran antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan masih santer terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang untuk melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar opini. Dua jam mata pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam radar berimajinasi dan bereksplorasi.
Selama 12 tahun kami dijejali soal – soal yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional yang berbentuk pilihan ganda tidak mendorong kami untuk mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca. Sehingga, akhirnya tidak terbentuk pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka (open-minded) dalam menyelesaikan masalah. Pengenalan pentingnya leadership (kepemimpinan) dan entrepreneurship (kewirausahaan) ? Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal ini diselipkan. Akan tetapi, di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan? Belum tentu.
Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara yang memegang tongkat kekuasaan, Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu diri. Kita tidak boleh mengabaikan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012 yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2012 sebesar 6,32 persen. (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Selasa, 25 September 2012, 11.56 ). Alokasi dana APBN sebesar 20% jangan lagi digunakan untuk proyek yang tidak berdampak langsung terhadap kualitas peserta didik. Sistem perekrutan guru dan lulusan bergelar sarjana pendidikan wajib ditinjau ulang. Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, Finlandia, guru – guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang menduduki peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu dibutuhkan kompetensi sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar tulisan yang dibuat benar – benar dapat melihat sejauh mana pemahaman siswa.
Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan
Saya ingin merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam sekolah yang memakan waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah saya rasakan juga hadir di setiap individu. Saya ingin sedari dini warisan budaya seperti batik, wayang, upacara sakral, kesenian daerah diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita tidak hanya berteriak saling menyalahkan tetapi nyatanya kita tidak meruwat budaya Indonesia. Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca – tulis dan rasa ingin tahu selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis anak – anak hanya karena tidak ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di ruang kelas. Harapan saya pendidikan di tanah air tidak lagi menjadi ajang transfer ilmu yang menjadikan murid adalah cetak biru sang guru. Peserta didik harus mampu mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga tujuan akhir pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu menjawab tantangan zaman dapat tercapai.
Reformasi kurikulum hanya dapat diwujudkan oleh orang nomor satu di jajaran aparatur Kementrian Pendidikan Nasional. Saya belum tahu bagaimana caranya mecuri atensi presiden agar kelak beliau bersedia mengamanahi saya posisi yang menjadi poros utama penyelenggaraan pendidikan formal oleh negara. Akan tetapi, paling tidak mulai dari hari ini saya telah menghimpun gagasan perubahan yang layak diperjuangkan.
Dengan titel Ibu Menteri, saya juga ingin mengajak masyarakat untuk menghapus citra ‘Anak IPA lebih pintar dari anak IPS’. Nosi ‘Setiap Anak itu Unik’ harus disebarluaskan. Kelebihan di bidang olahraga, musik, seni rupa, jangan lagi diremehkan. Orang tua harus diberi pencerahan bahwa nilai di atas kertas bukan ukuran absolut keberhasilan anaknya. Ujian Nasional digantikan oleh tugas akhir berupa proyek sosial atau karya ilmiah agar siswa menyadari bahwa kesuksesan yang nyata tidak mendewakan angka semata. Namun, berawal dari ketekunan dan kerja keras, bukan dari tak-tik menjawab soal pilihan ganda dengan tangkas. Imaji orang yang terpelajar dinilai berhasil karena pencapaiannya dalam bentuk materi; kaya raya, rumah dua, mobil merk ternama, harus pelan – pelan digeser menjadi imaji individu yang keberadaannya membawa manfaat sebanyak – sebanyaknya bagi sekitar.
Ringkasan
Tujuan akhir pendidikan adalah mencetak generasi yang mampu
menghadapi tantangan zaman belum tercapai. Jam sekolah yang tinggi dan
materi yang berjejal membuat pelajar ogah – ogahan sekolah. Sistem
evaluasi pilihan ganda tidak memberi insentif bagi peserta didik untuk
cinta membaca. Berangkat dari pengalaman mencicipi pendidikan di tanah
eropa, ide – ide segar lahir dan cita – cita baru terpatri di nurani.
Menepis setiap kepentingan politis demi pendidikan yang dapat mengubah
sendi – sendi kehidupan adalah misi utama jika saya kelak menyandang
titel Menteri Pendidikan.Program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti dua tahun silam meninggalkan jejak abadi di bilik memori. Hari – hari di sekolah yang saya jalani selama satu tahun ajaran membuka pintu kesempatan untuk saya merasakan perbedaan sistem pendidikan di Italia dan di Indonesia. Pengalaman sekali seumur hidup ini sukses membuat saya mencetuskan sebuah cita – cita baru: Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Dan setelah saya pulang ke tanah air, imajinasi posisi panglima tertinggi di sektor pendidikan formal tersebut semakin tumbuh di benak saya.
Sekolah yang Menyenangkan
Tatkala saya menjadi murid di sebuah SMA negeri di kota Roma, ada percik antusiasme yang membuncah sebelum saya berangkat ke sekolah. Terpaan angin dingin bumi eropa setiap pagi ketika sedang menunggu bus tidak menyurutkan semangat saya untuk hadir di ruang kelas. Kemampuan bahasa Italia saya yang belum seberapa juga tidak menciutkan nyali saya untuk mengikuti ujian lisan maupun tulis yang sebenarnya tidak wajib mengingat sekembalinya saya ke Indonesia saya tetap akan mengulang kelas tiga SMA. Akan tetapi, mata pelajaran yang menarik serta sistem evaluasi yang bebas dari model pilihan ganda mengaburkan kendala bahasa dan cuaca yang menghadang saya.
Sesuai dengan usia saya yang saat itu berumur 17 tahun, saya ditempatkan di kelas IV Liceo Scientifico Stanislao Cannizzaro. Kelas IV disana setara dengan kelas 2 SMA di negara kita. Dan seperti yang tertulis di nama sekolah saya, saya masuk di sekolah Ilmu Alam. Yang unik, selain belajar Matematika, Fisika, dan Kimia, alokasi jam Sastra Italia, Sastra Latin, Sastra Inggris, Filsafat, Sejarah, dan Sejarah Seni tidak dianak-tirikan. Tak hanya kemampuan berhitung yang diasah, namun kami dilatih pula untuk mengenal keping – keping masa lalu yang acap kali di Indonesia tidak diselami lebih dalam kecuali jika Anda mahasiswa Ilmu Sejarah.
Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran pengetahuan yang terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi kepala saya. Saya memaknai kutipan populer Carpe Diem di jam Literatur Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace – yang artinya adalah Seize the Day – mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya mengapresiasi fungsi moral dongeng Pinocchio dan Cinderella serta menganalisis faktor internal novel abad 17 karya Robinson Crusoe di jam Literatur Inggris. Saya juga membedah lukisan School of Athens karya Michelangelo dan mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf asal Britania Raya, John Locke.
Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas ‘Halo! Nama saya Gea. Saya datang dari Indonesia’. Tiga bulan awal saya benar – benar merasa seperti alien. Ketika berada di kelas, menahan kantuk adalah kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap materi pelajaran atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak manusia dalam beradaptasi dengan bahasa baru. Di bulan Desember 2011, saya mulai bisa berkomunikasi dua arah dan memberanikan diri untuk mengikuti ujian Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya Dante.
Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu ujian dengan soal pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas folio kosong. Saya tidak pernah menyilang jawaban, saya merangkai jawaban. Apa yang saya dan teman – teman pahami adalah yang akan kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian saya berdasarkan perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini pula yang membuat saya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang, bukan paksaan atau pun sebuah keharusan.
Letup Semangat yang Lenyap
Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang kelas 3. Jam sekolah yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam bentuk Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan meredupkan percik api semangat yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan waktu luang dan kebebasan melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya hanya berada di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk lulus SMA, murid – murid disana diperbolehkan menulis apa saja dalam bentuk karya ilmiah yang nantinya akan dipresentasikan. Host-brother saya kala itu menulis tentang badut dan kaitannya dengan karya pelukis Picasso. Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di dalam ruangan (sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman saya menulis sebuah esai dengan tema you are what you eat (Kamu adalah apa yang kamu makan).
Bukan berlebihan jika saya mengatakan masyarakat kita hari ini adalah produk kurikulum nasional. Pendidikan adalah salah satu faktor pembentuk karakter umum suatu masyarakat. Meskipun ada perubahan, kurikulum dulu dan kini sebetulnya memiliki napas yang sama: materi pelajaran yang membeludak, jam sekolah yang tinggi, sistem evaluasi model pilihan ganda, dan ujian yang terstandardisasi (standarised-test).
Kalau hari ini masih banyak orang yang tidak malu melakukan tindak pidana korupsi, bisa jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai yang namanya diubah menjadi Ujian Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih – benih generasi koruptif. Pelaksanaan Ujian Nasional yang rentan kecurangan adalah rahasia umum. Banyak murid yang saking takutnya atau saking malasnya akhirnya membeli soal dari pihak yang tak bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk memenuhi nilai minimum kelulusan, tidak semuanya mampu menomorsatukan kejujuran. Soal pilihan ganda yang diujikan memudahkan para murid untuk menghalalkan praktik sontek – menyontek. Model evaluasi yang melihat nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa memproduksi peserta didik yang belajar dengan berorientasi pada nilai (score-oriented), bukan berorientasi pada spirit pembelajar sejati (learning-oriented) yang seharusnya menjadi landasan setiap orang yang pernah mengecap pendidikan formal.
Karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar – mengajar di kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari di sekolah adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dan yang dikejar oleh para tenaga pengajar, kepala sekolah, dan Menteri Pendidikan adalah kenaikan angka statistik kelulusan.
Introspeksi Diri
Parameter keberhasilan pendidikan nasional yang diukur oleh nilai batas minimum yang mampu dilewati siswa adalah potret kesuksesan yang semu. Buktinya semakin banyak orang yang bisa sekolah, berita tawuran antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan masih santer terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang untuk melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar opini. Dua jam mata pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam radar berimajinasi dan bereksplorasi.
Selama 12 tahun kami dijejali soal – soal yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional yang berbentuk pilihan ganda tidak mendorong kami untuk mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca. Sehingga, akhirnya tidak terbentuk pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka (open-minded) dalam menyelesaikan masalah. Pengenalan pentingnya leadership (kepemimpinan) dan entrepreneurship (kewirausahaan) ? Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal ini diselipkan. Akan tetapi, di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan? Belum tentu.
Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara yang memegang tongkat kekuasaan, Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu diri. Kita tidak boleh mengabaikan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012 yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2012 sebesar 6,32 persen. (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Selasa, 25 September 2012, 11.56 ). Alokasi dana APBN sebesar 20% jangan lagi digunakan untuk proyek yang tidak berdampak langsung terhadap kualitas peserta didik. Sistem perekrutan guru dan lulusan bergelar sarjana pendidikan wajib ditinjau ulang. Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, Finlandia, guru – guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang menduduki peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu dibutuhkan kompetensi sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar tulisan yang dibuat benar – benar dapat melihat sejauh mana pemahaman siswa.
Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan
Saya ingin merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam sekolah yang memakan waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah saya rasakan juga hadir di setiap individu. Saya ingin sedari dini warisan budaya seperti batik, wayang, upacara sakral, kesenian daerah diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita tidak hanya berteriak saling menyalahkan tetapi nyatanya kita tidak meruwat budaya Indonesia. Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca – tulis dan rasa ingin tahu selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis anak – anak hanya karena tidak ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di ruang kelas. Harapan saya pendidikan di tanah air tidak lagi menjadi ajang transfer ilmu yang menjadikan murid adalah cetak biru sang guru. Peserta didik harus mampu mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga tujuan akhir pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu menjawab tantangan zaman dapat tercapai.
Reformasi kurikulum hanya dapat diwujudkan oleh orang nomor satu di jajaran aparatur Kementrian Pendidikan Nasional. Saya belum tahu bagaimana caranya mecuri atensi presiden agar kelak beliau bersedia mengamanahi saya posisi yang menjadi poros utama penyelenggaraan pendidikan formal oleh negara. Akan tetapi, paling tidak mulai dari hari ini saya telah menghimpun gagasan perubahan yang layak diperjuangkan.
Dengan titel Ibu Menteri, saya juga ingin mengajak masyarakat untuk menghapus citra ‘Anak IPA lebih pintar dari anak IPS’. Nosi ‘Setiap Anak itu Unik’ harus disebarluaskan. Kelebihan di bidang olahraga, musik, seni rupa, jangan lagi diremehkan. Orang tua harus diberi pencerahan bahwa nilai di atas kertas bukan ukuran absolut keberhasilan anaknya. Ujian Nasional digantikan oleh tugas akhir berupa proyek sosial atau karya ilmiah agar siswa menyadari bahwa kesuksesan yang nyata tidak mendewakan angka semata. Namun, berawal dari ketekunan dan kerja keras, bukan dari tak-tik menjawab soal pilihan ganda dengan tangkas. Imaji orang yang terpelajar dinilai berhasil karena pencapaiannya dalam bentuk materi; kaya raya, rumah dua, mobil merk ternama, harus pelan – pelan digeser menjadi imaji individu yang keberadaannya membawa manfaat sebanyak – sebanyaknya bagi sekitar.
Mengeja Indonesia di Sekolah Persatuan
Kepak
sayap sang garuda mulai lunglai. Kekerasan banal menyumbat moncong
garuda. Rumah Indonesia terbakar api sara. Kita rentan tersulut rentetan
aksi biadab bom mesjid di Cirebon yang dirangkai kekejian bom gereja di
Solo. Mari kita menyiram kesejukan pada sekam yang membara ini.
Indonesia bukan negara agama tapi tidak lantas tak beragama. Kita
lancung menengadah bumi pertiwi ini negara majemuk, negeri bhineka
tunggal ika. Padahal dua sayap garuda masih mampu mengayomi 250 juta
anak bangsa. Kita mesti meruwat harapan dengan kembali mengeja
Indonesia. I-N-D-O-N-E-S-I-A..
Sekolah Persatuan
Kita
harus kembali ke masalah sekolah jika ingin mengatasi masalah
masyarakat. Petang itu selepas tragedi bom, saya menyimak tayangan yang
membikin hati trenyuh. Di belahan bumi Indonesia ini ada sekolah yang
mengajar toleransi dengan perbuatan. Sekolah tersebut menampung semua
murid tanpa membedakan agama dan suku. Mereka anteng bersilaturahim
meski jurang perbedaan menganga jelas. Murid beragama kristen berbaur
dengan islam lalu yang muslim bersahabat dengan yang hindu. Sungguh
indah memandang mereka berkarib satu sama lain. Perjuangan adalah
pelaksanaan kata kata. Mereka tidak sekadar bergantung pada teks galib
atau pelajaran moral pancasila (PMP) tapi berjuang dengan sungguh dan
sepenuh jiwa. Sekolah tersebut, izinkan saya menyebutnya sekolah
persatuan, menampar kedegilan kita tentang makna toleransi. Toleransi
tidak sebatas “act of thinking” yang diretas lewat piagam-piagam
perjanjian dan retreat-retreat klise melainkan “act of doing” yang
mewujud pada sikap dan tindakan.
Cerita
dramatik diatas memutar ingatan ke memori kala saya menginjak sekolah
dasar. Saya bersekolah di sekolah dasar yang kebetulan bernama SD
Persatuan. Kami berasal dari ragam suku, ras, dan agama. Kawan saya ada
yang asal Medan, Sunda, dan Tionghoa. Kami semua tak pernah memasalahkan
asal usul dan jati diri. Sekedar contoh ketika saya kehausan dan
meneguk segelas air di vihara, kawan kawan saya di vihara tak pernah
menanyakan “Kamu darimana? Agama kamu apa?”. Tidak. Tidak. Mereka justru
senang berbagi karena itu menjalankan perintah Sang Budha untuk welas
asih. Kami begitu menghargai satu sama lain bahkan setiap hari sabtu
(pelajaran agama) kami dibagi-bagi kedalam kelompok sesuai agama
masing-masing. Saya masuk ke pelajaran islam dan begitu juga kawan saya
yang hindu, budha, kristen, dan katolik. Sekolah saya sengaja menyewa
guru untuk tiap agama demi menghargai keyakinan yang kami anut.
Bangsa
kita harus berlagak macam bocah lagi. Tak punya pretensi jahat dan
sikap tengil. Kita yang dewasa harus belajar dari mereka yang kecil.
Memupuk toleransi dengan sikap dan perbuatan. Jati diri keagamaan kita
tidak akan luntur jika hanya menghargai mereka yang berbeda keyakinan.
Dimensi kegamaan tak melulu bergerak vertikal (hablum minallah) tapi
juga horizontal (hablum minannas). Niscaya jika Anda mencintai mahluk
Tuhan itu berarti Anda sungguh mencintai sang khalik. Saya jadi teringat
petuah Prof Komarudin Hidayat. Jika ingin membela Tuhan, maka bela
mahluk Tuhan yang kecil agar menjadi besar. Diksi kecil disini ialah
orang miskin, kaum marjinal, dan mereka yang terpinggirkan. Siapa mau
bela mereka? Saya mau karena itu sama dengan membela Tuhan.
Saya dan Nenek yang beragama Budha |
Mengeja Indonesia
Menyusur
pendulum pluralisme Indonesia yang bergerak ke sisi kanan (konservatif)
bisa dicermati dalam hasil riset PPIM UIN : 62% guru agama islam di
sekolah umum jawa menolak non muslim jadi pemimpin publik dan 30%
responden mendukung Pemilu hanya untuk memilih wakil rakyat yang
memperjuangkan syariat Islam. Mahasiswa sebagai garda bangsa pun mulai
terinfiltrasi paham tersebut. Survei GMNI pada 2006 melansir 80%
mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan bernegara hanya 4,5% yang
masih memegang pancasila. Kita gerah melihat situasi ini. Republik ini
berdiri kokoh dalam bangunan keberagaman (bukan penyeragaman). Bangsa
ini mulai memutar res privata (urusan privat) menjadi res publica
(urusan publik).
Bangsa
ini harus mengerti bahwa tidak boleh ada diktator mayoritas dan tirani
minoritas. Ketika di ground zero akan dibangun mesjid, kebanyakan
masyarakat US menentang. Tapi presiden Obama dan Bloomberg (Walikota New
York) membela pembangunan mesjid tersebut. Di Australia, Prancis, dan
sejumlah negara eropa kini pemakaian burqa dipertimbangkan untuk
dilarang. Bangsa ini harus bangun dari siuman panjang. Merajut toleransi
beragama bukan soal adu jumlah penganut umat beragama. Merajut
toleransi adalah kesadaran dari relung hati kita untuk menghargai the
others. Menyadari bahwa perbedaan adalah berkah dan pertentangan adalah
musibah. Kita tidak bisa membangun bangsa ini dari keping-keping
penyeragaman. Bangsa ini lahir dengan kata “kita” bukan kata “kami”.
Kita tidak perlu belajar lema untuk memahami perbedaan kita dan kami.
Kita hanya perlu bertanya pada diri sendiri : sudahkah kita menghormati
keyakinan orang lain hari ini, esok, dan selamanya?
Garuda
Indonesia harus bisa jadi payung bagi semua golongan bukan satu dua
golongan. Sekolah persatuan mengikuti jejak mereka yang berjuang di
garis depan toleransi. Ingat, GKJ Manahan Solo yang menyediakan buka
puasa bagi mereka yang muslim. Sekolah persatuan merangkai kata
Indonesia dengan sejuk dan telaten. Mereka, anak-anak kecil yang polos,
justru jadi miniatur toleransi Indonesia. Kita tidak perlu malu belajar
dari mereka yang masih bocah. Kedewasaan bukan dilihat dari usia tapi
dari sikap.
Mengeja
Indonesia di sekolah persatuan ialah setitik asa di tengah dahaga
pluralisme. Saya berharap dan masih yakin jika para guru di Indonesia
bisa mengajar toleransi seperti yang saya terima kala SD dan SMA. Guru
adalah ibu dari segala profesi. Ketika di hulu rusak maka niscaya di
hilir akan ikut rusak. Bertoleransi tak cukup dipelajari dari teks
pancasila tapi juga dari pelajaran hidup. Kata kata hanya sekedar teks
jika kita belum menuang makna kedalamnya. Saya teringat ucapan kawan
saya : membaur bukan berarti melebur. Percaya saya kawan, jika Anda
menghargai keyakinan orang lain tidak membuat jati diri rubuh. Justru
jika Anda enggan menghargai keyakinan orang lain besar kemungkinan Anda
malah ragu dengan keyakinan sendiri. Kita menjahit pluralisme yang sobek
ini seperti anak-anak di sekolah persatuan : tenggang rasa, toleransi,
dan silih asih. Ayo kita sama-sama mengeja Indonesia...
Ekspansi Budaya: Lepas Landas Kebudayaan Indonesia
Oleh: Sidiq Maulana Muda, Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
“Annyong haseyo!”
Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan
kata sapaan itu, yang kurang lebih berarti “Hai, apa kabar!” dalam
bahasa Korea. Banyak teman saya yang menggunakan kata itu sejak mereka
menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi. Selain itu
banyak juga tambahan kosakata baru seperti “Kamsahamnida,” (terima kasih), “Sarang haeyo,” (I love you)
dan sebagainya. Teman-teman saya (terutama yang perempuan) kerap sibuk
membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng,
menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, dan sebagainya.
Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok
produk-produk budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern
Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu
mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak
diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para
pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah
diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan
tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi
terjangan budaya asing di negeri kita.
Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk
waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. “Hati-hati
terhadap bahaya westernisasi!”, “Lindungi generasi muda dari pengaruh
buruk budaya asing!”. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah,
karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas
kita. Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang
kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa
pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis
makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu
sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat
ini yang terkatung-katung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang
kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup
diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak
suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang
berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa
kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya
asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi bertahan yang paling
tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi
itu sendiri.
Merancang Gelombang Budaya Indonesia
Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang
bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan
hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya
gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood,
mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun kondisi ini
pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan
berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya
mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di
New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam
menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan
persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi
kebudayaan yang sangat beragam. Saya memakai baju koko dan celana jeans,
duduk di kantin memesan sepiring nasi Hainan, sambil membaca komik
Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta
mendengarkan lagu ST12 yang disetel ibu kantin. Terus terang saat ini
saya tak mampu berbuat banyak selain berusaha menikmatinya. Dalam
situasi seperti ini, pilihannya hanya mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika
kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut
memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk
terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada
dunia.
Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita
sendiri. Apa itu budaya Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari
saman, gotong royong, paguyuban, nagari, apa pun itu, daftarkan satu
per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya kongkrit
maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali
dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan
masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan
Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam
budaya yakni perilaku ‘memiliki’ sekaligus ‘menyebarkan’. Paradoks ini
kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang
kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan
tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya
penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita
dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan
pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan
barongsai dan potehi dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak
ingin rakyat India mendemo kita karena memainkan lakon-lakon Ramayana.
Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita penting untuk
dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi.
Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.
Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya
kita perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan
nilai ekonomi yang tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual
yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survivalnya, memberi imbas
positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju
ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya
mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan
pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang
berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya
berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri
tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan
ekspansi budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang
agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa nama
Indonesia ke seluruh dunia.
Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode
penyebaran yang tepat. Meski pun kita telah melakukan industrialisasi
batik, namun permintaan batik di luar negeri tidak akan serta merta
melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik.
Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada
pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit.
Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan
simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi
yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada
seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media
massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan
populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk
budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Saya memilih industri
film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang saya
maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio
visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar,
menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan
memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara yang
menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan
yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda.
Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi
unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan,
nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya suatu film Indonesia akan
menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog
dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam
dan budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama
sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan
sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi
dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini
adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena
budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans.
Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, mereka lah
yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita di samping
media massa seperti televisi, majalah, dan internet. Saya ingin
mengambil contoh, di kampus saya terdapat sebuah klub yang membahas
semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau
beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan J-dorama. Setiap
bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari budaya
Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya.
Dan tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk
melakukan semua itu. Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi
budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrunginya
kemudian mengarahkannya pada produk lain.
Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena
kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bangkit
saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca
negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan,
maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk
budaya lainnya. Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal, melindungi,
serta menggunakan lobinya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk
budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu
menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga
dunia Barat.
Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman
telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya
Indonesia di manca negara, maka tugas berikutnya adalah memelihara dan
mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang
budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya
lainnya seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan
penting untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih
kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca
negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go international.
Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di
negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa
diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam
manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi
selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba,
kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana.
Sejumlah PR
Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang dilematis. Sifat
industri yang cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan
menurunkan kualitas budaya, karena menyerahkannya pada selera pasar yang
belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita saksikan misalnya pada dunia
sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang sifatnya
membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu,
pemerintah harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk
budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi
pencitraan Indonesia di mata dunia. Produk-produk budaya yang
berorientasi ekspor akan membawa misi budaya kita ke seluruh dunia,
sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron dan film-film
sampah bisa lolos ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas
produk, maka pemerintah pun wajib mengeluarkan kebijakan yang memudahkan
sektor industri budaya kita. Beban pajak yang tinggi yang selama ini
dikenakan kepada produk dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau
pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu
sendiri. Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang
dengan menggunakan pajak-pajak dari sektor budaya pop untuk membiayai
keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat menanti dukungan dan peran aktif pemerintah.
Kemudian ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya mengenai
kebudayaan kita ini. Sementara kita membicarakan ekspansi budaya, ada
ketimpangan yang sangat nyata dalam perkembangan kebudayaan kita selama
beberapa dekade terakhir. Kebijakan sentralisasi yang dulu diterapkan
telah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di
Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan, apa
itu film nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu koran nasional? Apa
itu televisi nasional? Bohong, yang ada hanya lah film-film dan
artis-artis Jakarta. Koran-koran dan televisi-televisi Jakarta. Apa itu
Monas? Monumen nasional? Bohong, itu monumen yang ada di emblem Pemda
DKI Jakarta.
Mungkin kita perlu mengingat kembali apa itu kebudayaan nasional.
Dalam penjelasan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 diterangkan bahwa, Kebudayaan
bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat
Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai
puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia,
terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke
arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia.
Para penyusun undang-undang ini sadar bahwa masyarakat kita sejak
dulu telah memiliki banyak puncak kebudayaan, bukan hanya satu. Konsep
kebangsaan kita unik karena memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan
bahasa yang berbeda ke dalam satu identitas baru yaitu Indonesia. Harus
diakui, konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh penjajah. Itu
menjelaskan mengapa masyarakat Riau harus berbeda bangsa dengan
masyarakat Johor meski mereka berbagi budaya yang sama di masa lalu.
Juga mengapa masyarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa
meski sesama anak Timor. Juga putra-putri Dayak, Papua, dan lainnya
yang terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu dibuat para penjajah
dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-states) modern seperti yang kita kenal saat ini.
Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipahami
secara bijak. Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang
berbeda, yang dulu memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di
bawah penjajah yang sama. Dan karena nasionalisme kita bertujuan
memerdekakan seluruh negeri dari penjajahan, maka sangat tidak pantas
jika Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara
kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan keragaman
identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung dalam rumah Indonesia.
Era reformasi saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia
untuk mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam
semangat desentralisasi saat ini, saya sangat berhadap di masa depan
nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan berlangsung lebih adil.
Kita butuh lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di seluruh
Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya mendengar
berita tentang peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari
sejumlah kritik mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, saya
cukup salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan suatu
bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan
nasional secara dinamis yang didorong oleh desentralisasi akan
menghadirkan wajah kebudayaan Indonesia yang lebih integratif dan
representatif. Dan apabila putra-putri Indonesia telah mampu untuk
berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke, maka kita akan lebih
mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebudayaan kita ke manca negara.
Referensi
Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To History, Princeton University Press
http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e
Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research Associates
wahhh esai yg sangat bagus sekali, boleh tanya berapa lama buat nya yha???
BalasHapusthaks a lot, this is very helpful :)
BalasHapusterimakasih,,
BalasHapussangat berguna..
Sippppp
BalasHapusSemoga Bermanfaat
Luar biasa,,, apresiasi,,
BalasHapusSubhanallah. Hebat!
BalasHapusEssai yang luar biasa..
BalasHapussaya memimpikan apa yang anda gagas menjadi kenyataan.
sangat indah.
bagus..
BalasHapuswah.. baguusss :)
BalasHapusSuatu karya yang sangat bagus.. ;)
BalasHapusessay yang keren:).. menginspirasi sekali..
BalasHapusBagus sekali alurnya; dari pengalaman pribadi yang direfleksikan dengna baik menjadi mimpi demi indonesia yang lebih baik. Lugas, enak dibaca, dan menyegarkan. Idenya baik dan menginspirasi....Trims
BalasHapusbagus
BalasHapusessay yang pertama menggugah hati saya dan membuka mindset saya.
BalasHapusthanks
BalasHapus