Pages

Minggu, 26 Mei 2013

Contoh Esai / Essay Nasional Pemenang Kompetisi KEM AMI / Tempo Institut







JIKA AKU MENJADI MENTERI PENDIDIKAN

oleh: GIGAY CITTA ACIKGENC – UNIVERSITAS INDONESIA


Ringkasan
Tujuan akhir pendidikan adalah mencetak generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman belum tercapai. Jam sekolah yang tinggi dan materi yang berjejal membuat pelajar ogah – ogahan sekolah. Sistem evaluasi pilihan ganda tidak memberi insentif bagi peserta didik untuk cinta membaca. Berangkat dari pengalaman mencicipi pendidikan di tanah eropa, ide – ide segar lahir dan cita – cita baru terpatri di nurani. Menepis setiap kepentingan politis demi pendidikan yang dapat mengubah sendi – sendi kehidupan adalah misi utama jika saya kelak menyandang titel Menteri Pendidikan.

Program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti dua tahun silam meninggalkan jejak abadi di bilik memori. Hari – hari di sekolah yang saya jalani selama satu tahun ajaran membuka pintu kesempatan untuk saya merasakan perbedaan sistem pendidikan di Italia dan di Indonesia. Pengalaman sekali seumur hidup ini sukses membuat saya mencetuskan sebuah cita – cita baru: Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Dan setelah saya pulang ke tanah air, imajinasi posisi panglima tertinggi di sektor pendidikan formal tersebut semakin tumbuh di benak saya.

Sekolah yang Menyenangkan
Tatkala saya menjadi murid di sebuah SMA negeri di kota Roma, ada percik antusiasme yang membuncah sebelum saya berangkat ke sekolah. Terpaan angin dingin bumi eropa setiap pagi ketika sedang menunggu bus tidak menyurutkan semangat saya untuk hadir di ruang kelas. Kemampuan bahasa Italia saya yang belum seberapa juga tidak menciutkan nyali saya untuk mengikuti ujian lisan maupun tulis yang sebenarnya tidak wajib mengingat sekembalinya saya ke Indonesia saya tetap akan mengulang kelas tiga SMA. Akan tetapi, mata pelajaran yang menarik serta sistem evaluasi yang bebas dari model pilihan ganda mengaburkan kendala bahasa dan cuaca yang menghadang saya.

Sesuai dengan usia saya yang saat itu berumur 17 tahun, saya ditempatkan di kelas IV Liceo Scientifico Stanislao Cannizzaro. Kelas IV disana setara dengan kelas 2 SMA di negara kita. Dan seperti yang tertulis di nama sekolah saya, saya masuk di sekolah Ilmu Alam. Yang unik, selain belajar Matematika, Fisika, dan Kimia, alokasi jam Sastra Italia, Sastra Latin, Sastra Inggris, Filsafat, Sejarah, dan Sejarah Seni tidak dianak-tirikan. Tak hanya kemampuan berhitung yang diasah, namun kami dilatih pula untuk mengenal keping – keping masa lalu yang acap kali di Indonesia tidak diselami lebih dalam kecuali jika Anda mahasiswa Ilmu Sejarah.

Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran pengetahuan yang terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi kepala saya. Saya memaknai kutipan populer Carpe Diem di jam Literatur Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace – yang artinya adalah Seize the Day – mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya mengapresiasi fungsi moral dongeng Pinocchio dan Cinderella serta menganalisis faktor internal novel abad 17 karya Robinson Crusoe di jam Literatur Inggris. Saya juga membedah lukisan School of Athens karya Michelangelo dan mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf asal Britania Raya, John Locke.
Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas ‘Halo! Nama saya Gea. Saya datang dari Indonesia’. Tiga bulan awal saya benar – benar merasa seperti alien. Ketika berada di kelas, menahan kantuk adalah kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap materi pelajaran atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak manusia dalam beradaptasi dengan bahasa baru. Di bulan Desember 2011, saya mulai bisa berkomunikasi dua arah dan memberanikan diri untuk mengikuti ujian Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya Dante.

Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu ujian dengan soal pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas folio kosong. Saya tidak pernah menyilang jawaban, saya merangkai jawaban. Apa yang saya dan teman – teman pahami adalah yang akan kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian saya berdasarkan perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini pula yang membuat saya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang, bukan paksaan atau pun sebuah keharusan.

Letup Semangat yang Lenyap
Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang kelas 3. Jam sekolah yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam bentuk Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan meredupkan percik api semangat yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan waktu luang dan kebebasan melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya hanya berada di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk lulus SMA, murid – murid disana diperbolehkan menulis apa saja dalam bentuk karya ilmiah yang nantinya akan dipresentasikan. Host-brother saya kala itu menulis tentang badut dan kaitannya dengan karya pelukis Picasso. Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di dalam ruangan (sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman saya menulis sebuah esai dengan tema you are what you eat (Kamu adalah apa yang kamu makan).
Bukan berlebihan jika saya mengatakan masyarakat kita hari ini adalah produk kurikulum nasional. Pendidikan adalah salah satu faktor pembentuk karakter umum suatu masyarakat. Meskipun ada perubahan, kurikulum dulu dan kini sebetulnya memiliki napas yang sama: materi pelajaran yang membeludak, jam sekolah yang tinggi, sistem evaluasi model pilihan ganda, dan ujian yang terstandardisasi (standarised-test).
Kalau hari ini masih banyak orang yang tidak malu melakukan tindak pidana korupsi, bisa jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai yang namanya diubah menjadi Ujian Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih – benih generasi koruptif. Pelaksanaan Ujian Nasional yang rentan kecurangan adalah rahasia umum. Banyak murid yang saking takutnya atau saking malasnya akhirnya membeli soal dari pihak yang tak bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk memenuhi nilai minimum kelulusan, tidak semuanya mampu menomorsatukan kejujuran. Soal pilihan ganda yang diujikan memudahkan para murid untuk menghalalkan praktik sontek – menyontek. Model evaluasi yang melihat nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa memproduksi peserta didik yang belajar dengan berorientasi pada nilai (score-oriented), bukan berorientasi pada spirit pembelajar sejati (learning-oriented) yang seharusnya menjadi landasan setiap orang yang pernah mengecap pendidikan formal.

Karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar – mengajar di kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari di sekolah adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dan yang dikejar oleh para tenaga pengajar, kepala sekolah, dan Menteri Pendidikan adalah kenaikan angka statistik kelulusan.

Introspeksi Diri
Parameter keberhasilan pendidikan nasional yang diukur oleh nilai batas minimum yang mampu dilewati siswa adalah potret kesuksesan yang semu. Buktinya semakin banyak orang yang bisa sekolah, berita tawuran antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan masih santer terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang untuk melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar opini. Dua jam mata pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam radar berimajinasi dan bereksplorasi.
Selama 12 tahun kami dijejali soal – soal  yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional yang berbentuk pilihan ganda tidak mendorong kami untuk mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca. Sehingga, akhirnya tidak terbentuk pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka (open-minded) dalam menyelesaikan masalah. Pengenalan pentingnya leadership (kepemimpinan) dan entrepreneurship (kewirausahaan) ? Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal ini diselipkan. Akan tetapi, di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan? Belum tentu.

Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara yang memegang tongkat kekuasaan, Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu diri. Kita tidak boleh mengabaikan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012 yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2012 sebesar 6,32 persen. (sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Selasa, 25 September 2012, 11.56 ). Alokasi dana APBN sebesar 20% jangan lagi digunakan untuk proyek yang tidak berdampak langsung terhadap kualitas peserta didik. Sistem perekrutan guru dan lulusan bergelar sarjana pendidikan wajib ditinjau ulang. Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, Finlandia, guru – guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang menduduki peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu dibutuhkan kompetensi sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar tulisan yang dibuat benar – benar dapat melihat sejauh mana pemahaman siswa.

Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan
Saya ingin merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam sekolah yang memakan waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah saya rasakan juga hadir di setiap individu. Saya ingin sedari dini warisan budaya seperti batik, wayang, upacara sakral, kesenian daerah diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita tidak hanya berteriak saling menyalahkan tetapi nyatanya kita tidak meruwat budaya Indonesia. Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca – tulis dan rasa ingin tahu selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis anak – anak hanya karena tidak ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di ruang kelas. Harapan saya pendidikan di tanah air tidak lagi menjadi ajang transfer ilmu yang menjadikan murid adalah cetak biru sang guru. Peserta didik harus mampu mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga tujuan akhir pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu menjawab tantangan zaman dapat tercapai.

Reformasi kurikulum hanya dapat diwujudkan oleh orang nomor satu di jajaran aparatur Kementrian Pendidikan Nasional. Saya belum tahu bagaimana caranya mecuri atensi presiden agar kelak beliau bersedia mengamanahi saya posisi yang menjadi poros utama penyelenggaraan pendidikan formal oleh negara. Akan tetapi, paling tidak mulai dari hari ini saya telah menghimpun gagasan perubahan yang layak diperjuangkan.
Dengan titel Ibu Menteri, saya juga ingin mengajak masyarakat untuk menghapus citra ‘Anak IPA lebih pintar dari anak IPS’. Nosi ‘Setiap Anak itu Unik’ harus disebarluaskan. Kelebihan di bidang olahraga, musik, seni rupa, jangan lagi diremehkan. Orang tua harus diberi pencerahan bahwa nilai di atas kertas bukan ukuran absolut keberhasilan anaknya. Ujian Nasional digantikan oleh tugas akhir berupa proyek sosial atau karya ilmiah agar siswa menyadari bahwa kesuksesan yang nyata tidak mendewakan angka semata. Namun, berawal dari ketekunan dan kerja keras, bukan dari tak-tik menjawab soal pilihan ganda dengan tangkas. Imaji orang yang terpelajar dinilai berhasil karena pencapaiannya dalam bentuk materi; kaya raya, rumah dua, mobil merk ternama, harus pelan – pelan digeser menjadi imaji individu yang keberadaannya membawa manfaat sebanyak – sebanyaknya bagi sekitar.

Mengeja Indonesia di Sekolah Persatuan


Kepak sayap sang garuda mulai lunglai. Kekerasan banal menyumbat moncong garuda. Rumah Indonesia terbakar api sara. Kita rentan tersulut rentetan aksi biadab bom mesjid di Cirebon yang dirangkai kekejian bom gereja di Solo. Mari kita menyiram kesejukan pada sekam yang membara ini. Indonesia bukan negara agama tapi tidak lantas tak beragama. Kita lancung menengadah bumi pertiwi ini negara majemuk, negeri bhineka tunggal ika. Padahal dua sayap garuda masih mampu mengayomi 250 juta anak bangsa. Kita mesti meruwat harapan dengan kembali mengeja Indonesia. I-N-D-O-N-E-S-I-A..



Sekolah Persatuan

Kita harus kembali ke masalah sekolah jika ingin mengatasi masalah masyarakat.  Petang itu selepas tragedi bom, saya menyimak tayangan yang membikin hati trenyuh. Di belahan bumi Indonesia ini ada sekolah yang mengajar toleransi dengan perbuatan. Sekolah tersebut menampung semua murid tanpa membedakan agama dan suku. Mereka anteng bersilaturahim meski jurang perbedaan menganga jelas. Murid beragama kristen berbaur dengan islam lalu yang muslim bersahabat dengan yang hindu. Sungguh indah memandang mereka berkarib satu sama lain. Perjuangan adalah pelaksanaan kata kata.  Mereka tidak sekadar bergantung pada teks galib atau pelajaran moral pancasila (PMP) tapi berjuang dengan sungguh dan sepenuh jiwa. Sekolah tersebut, izinkan saya menyebutnya sekolah persatuan, menampar kedegilan kita tentang makna toleransi. Toleransi tidak sebatas “act of thinking” yang diretas lewat piagam-piagam perjanjian dan retreat-retreat klise melainkan “act of doing” yang mewujud pada sikap dan tindakan. 



Cerita dramatik diatas memutar ingatan ke memori kala saya menginjak sekolah dasar. Saya bersekolah di sekolah dasar yang kebetulan bernama SD Persatuan. Kami berasal dari ragam suku, ras, dan agama. Kawan saya ada yang asal Medan, Sunda, dan Tionghoa. Kami semua tak pernah memasalahkan asal usul dan jati diri. Sekedar contoh ketika saya kehausan dan meneguk segelas air di vihara, kawan kawan saya di vihara tak pernah menanyakan “Kamu darimana? Agama kamu apa?”. Tidak. Tidak. Mereka justru senang berbagi karena itu menjalankan perintah Sang Budha untuk welas asih. Kami begitu menghargai satu sama lain bahkan setiap hari sabtu (pelajaran agama) kami dibagi-bagi kedalam kelompok sesuai agama masing-masing. Saya masuk ke pelajaran islam dan begitu juga kawan saya yang hindu, budha, kristen, dan katolik. Sekolah saya sengaja menyewa guru untuk tiap agama demi menghargai keyakinan yang kami anut. 



Bangsa kita harus berlagak macam bocah lagi. Tak punya pretensi jahat dan sikap tengil. Kita yang dewasa harus belajar dari mereka yang kecil. Memupuk toleransi dengan sikap dan perbuatan. Jati diri keagamaan kita tidak akan luntur jika hanya menghargai mereka yang berbeda keyakinan. Dimensi kegamaan tak melulu bergerak vertikal (hablum minallah) tapi juga horizontal (hablum minannas). Niscaya jika Anda mencintai mahluk Tuhan itu berarti Anda sungguh mencintai sang khalik. Saya jadi teringat petuah Prof Komarudin Hidayat. Jika ingin membela Tuhan, maka bela mahluk Tuhan yang kecil agar menjadi besar. Diksi kecil disini ialah orang miskin, kaum marjinal, dan mereka yang terpinggirkan. Siapa mau bela mereka? Saya mau karena itu sama dengan membela Tuhan. 

Saya dan Nenek yang beragama Budha
Saya lahir di keluarga majemuk. Keluarga besar ibu adalah tionghoa tulen sedang dari ayah saya berasal dari sunda. Saya dibesarkan di keluarga yang menghargai tiap keyakinan manusia. Saban puasa, nenek saya yang beragama budha, mengirimi keluarga saya santapan buka puasa. Terkadang nenek saya ikut puasa untuk menghormati kami sebagai keluarga muslim. Maka saya geram bukan main ketika bom meladak di sana sini. Mereka iblis yang menyaru malaikat. Bagaimana bisa mereka mengharap bidadari di surga padahal tangan berlumuran darah. Kemenangan terbesar terorisme bukan pada jumlah korban luka dan jiwa tapi ketika umat beragama sudah mulai saling curiga. Dampak itu terasa betul ketika saya menginjak bangku SMA. Saya yang SMA di sekolah katolik ikut merasa tertimpa beban psikologis atas bom laknat tersebut. Saya mencoba memberi penjelasan kepada kawan saya yang non muslim atas pemahaman keliru teroris mengenai jihad. Saya kerap berceloteh ke mereka bahwa itu bukan jihad tapi jahad  (baca : jahat) dan mereka juga mujahid tapi mujahad (baca : mau jahat). Sekali lagi kawan kawan saya membuktikan ketahanan benteng pluralisme Indonesia. Giliran umat muslim puasa mereka justru menghargai kami tanpa diminta dengan tidak mempertontonkan makanan di depan kami. Bila menengok kisah ini sejujurnya saya ingin menangis gembira melihat toleransi tingkat tinggi ini (bukan retreat tingkat tinggi). Mereka memang sejumlah kecil tapi berjiwa besar dan berpikir jernih. Salut! 



Mengeja Indonesia

Menyusur pendulum pluralisme Indonesia yang bergerak ke sisi kanan (konservatif) bisa dicermati dalam hasil riset PPIM UIN : 62% guru agama islam di sekolah umum jawa menolak non muslim jadi pemimpin publik dan 30% responden mendukung Pemilu hanya untuk memilih wakil rakyat yang memperjuangkan syariat Islam.  Mahasiswa sebagai garda bangsa pun mulai terinfiltrasi paham tersebut. Survei GMNI pada 2006 melansir 80% mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan bernegara hanya 4,5% yang masih memegang pancasila.  Kita gerah melihat situasi ini. Republik ini berdiri kokoh dalam bangunan keberagaman (bukan penyeragaman). Bangsa ini mulai memutar res privata (urusan privat) menjadi res publica (urusan publik). 



Bangsa ini harus mengerti bahwa tidak boleh ada diktator mayoritas dan tirani minoritas. Ketika di ground zero akan dibangun mesjid, kebanyakan masyarakat US menentang. Tapi presiden Obama dan Bloomberg (Walikota New York) membela pembangunan mesjid tersebut. Di Australia, Prancis, dan sejumlah negara eropa kini pemakaian burqa dipertimbangkan untuk dilarang. Bangsa ini harus bangun dari siuman panjang. Merajut toleransi beragama bukan soal adu jumlah penganut umat beragama. Merajut toleransi adalah kesadaran dari relung hati kita untuk menghargai the others. Menyadari bahwa perbedaan adalah berkah dan pertentangan adalah musibah. Kita tidak bisa membangun bangsa ini dari keping-keping penyeragaman. Bangsa ini lahir dengan kata “kita” bukan kata “kami”. Kita tidak perlu belajar lema untuk memahami perbedaan kita dan kami. Kita hanya perlu bertanya pada diri sendiri : sudahkah kita menghormati keyakinan orang lain hari ini, esok, dan selamanya?



Garuda Indonesia harus bisa jadi payung bagi semua golongan bukan satu dua golongan. Sekolah persatuan mengikuti jejak mereka yang berjuang di garis depan toleransi. Ingat, GKJ Manahan Solo yang menyediakan buka puasa bagi mereka yang muslim. Sekolah persatuan merangkai kata Indonesia dengan sejuk dan telaten. Mereka, anak-anak kecil yang polos, justru jadi miniatur toleransi Indonesia. Kita tidak perlu malu belajar dari mereka yang masih bocah. Kedewasaan bukan dilihat dari usia tapi dari sikap. 



Mengeja Indonesia di sekolah persatuan ialah setitik asa di tengah dahaga pluralisme. Saya berharap dan masih yakin jika para guru di Indonesia bisa mengajar toleransi seperti yang saya terima kala SD dan SMA. Guru adalah ibu dari segala profesi. Ketika di hulu rusak maka niscaya di hilir akan ikut rusak. Bertoleransi tak cukup dipelajari dari teks pancasila tapi juga dari pelajaran hidup. Kata kata hanya sekedar teks jika kita belum menuang makna kedalamnya. Saya teringat ucapan kawan saya : membaur bukan berarti melebur. Percaya saya kawan, jika Anda menghargai keyakinan orang lain tidak membuat jati diri rubuh. Justru jika Anda enggan menghargai keyakinan orang lain besar kemungkinan Anda malah ragu dengan keyakinan sendiri. Kita menjahit pluralisme yang sobek ini seperti anak-anak di sekolah persatuan : tenggang rasa, toleransi, dan silih asih. Ayo kita sama-sama mengeja Indonesia...
 

Ekspansi Budaya: Lepas Landas Kebudayaan Indonesia

18-Aug-2011 oleh     Tidak ada Komentar    Posting didalam : Naskah, Tahun 2009
Oleh: Sidiq Maulana Muda, Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.

Annyong haseyo!”
Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan kata sapaan itu, yang kurang lebih berarti “Hai, apa kabar!” dalam bahasa Korea. Banyak teman saya yang menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi. Selain itu banyak juga tambahan kosakata baru seperti “Kamsahamnida,” (terima kasih), “Sarang haeyo,” (I love you) dan sebagainya. Teman-teman saya (terutama yang perempuan) kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, dan sebagainya.
Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produk-produk budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi terjangan budaya asing di negeri kita.
Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. “Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!”, “Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!”. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita. Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatung-katung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri.
Merancang Gelombang Budaya Indonesia
Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Saya memakai baju koko dan celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi Hainan, sambil membaca komik Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta mendengarkan lagu ST12 yang disetel ibu kantin. Terus terang saat ini saya tak mampu berbuat banyak selain berusaha menikmatinya. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia.
Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong, paguyuban, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku ‘memiliki’ sekaligus ‘menyebarkan’. Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan.
Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan ekspansi budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia.
Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat. Meski pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar negeri tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit. Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang saya maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda.
Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam dan budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produk-produk budaya kita, mereka lah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita di samping media massa seperti televisi, majalah, dan internet. Saya ingin mengambil contoh, di kampus saya terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan J-dorama. Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain.

Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan, maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya. Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lobinya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga dunia Barat.

Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara, maka tugas berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana.



Sejumlah PR
Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang dilematis. Sifat industri yang cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena menyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita saksikan misalnya pada dunia sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang sifatnya membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Produk-produk budaya yang berorientasi ekspor akan membawa misi budaya kita ke seluruh dunia, sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron dan film-film sampah bisa lolos ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk, maka pemerintah pun wajib mengeluarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri budaya kita. Beban pajak yang tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak dari sektor budaya pop untuk membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat menanti dukungan dan peran aktif pemerintah.
Kemudian ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya mengenai kebudayaan kita ini. Sementara kita membicarakan ekspansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam perkembangan kebudayaan kita selama beberapa dekade terakhir. Kebijakan sentralisasi yang dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan, apa itu film nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu koran nasional? Apa itu televisi nasional? Bohong, yang ada hanya lah film-film dan artis-artis Jakarta. Koran-koran dan televisi-televisi Jakarta. Apa itu Monas? Monumen nasional? Bohong, itu monumen yang ada di emblem Pemda DKI Jakarta.
Mungkin kita perlu mengingat kembali apa itu kebudayaan nasional. Dalam penjelasan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 diterangkan bahwa, Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. 
Para penyusun undang-undang ini sadar bahwa masyarakat kita sejak dulu telah memiliki banyak puncak kebudayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita unik karena memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda ke dalam satu identitas baru yaitu Indonesia. Harus diakui, konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh penjajah. Itu menjelaskan mengapa masyarakat Riau harus berbeda bangsa dengan masyarakat Johor meski mereka berbagi budaya yang sama di masa lalu. Juga mengapa masyarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa meski sesama anak Timor. Juga putra-putri Dayak, Papua, dan lainnya yang terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu dibuat para penjajah dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-states) modern seperti yang kita kenal saat ini.
Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipahami secara bijak. Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda, yang dulu memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di bawah penjajah yang sama. Dan karena nasionalisme kita bertujuan memerdekakan seluruh negeri dari penjajahan, maka sangat tidak pantas jika Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung dalam rumah Indonesia.
Era reformasi saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam semangat desentralisasi saat ini, saya sangat berhadap di masa depan nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan berlangsung lebih adil. Kita butuh lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya mendengar berita tentang peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari sejumlah kritik mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, saya cukup salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan suatu bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan nasional secara dinamis yang didorong oleh desentralisasi akan menghadirkan wajah kebudayaan Indonesia yang lebih integratif dan representatif. Dan apabila putra-putri Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke, maka kita akan lebih mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebudayaan kita ke manca negara.
Referensi
Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To History, Princeton University Press
http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e
Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research Associates

15 komentar:

  1. wahhh esai yg sangat bagus sekali, boleh tanya berapa lama buat nya yha???

    BalasHapus
  2. thaks a lot, this is very helpful :)

    BalasHapus
  3. Essai yang luar biasa..
    saya memimpikan apa yang anda gagas menjadi kenyataan.
    sangat indah.

    BalasHapus
  4. Suatu karya yang sangat bagus.. ;)

    BalasHapus
  5. essay yang keren:).. menginspirasi sekali..

    BalasHapus
  6. Bagus sekali alurnya; dari pengalaman pribadi yang direfleksikan dengna baik menjadi mimpi demi indonesia yang lebih baik. Lugas, enak dibaca, dan menyegarkan. Idenya baik dan menginspirasi....Trims

    BalasHapus
  7. essay yang pertama menggugah hati saya dan membuka mindset saya.

    BalasHapus